oleh Aswandi Syahri
MENJELANG penghujung abad ke-19, sejumlah anak watan Kerajaan Riau-Lingga yang tercerahkan mulai bangkit dan berdepan-depan dengan kolonialisme. Jaringan komunikasi intelektual dengan Timur Tengah, terutama dengan Mekah, Mesir, dan Pattani, semakin membuka jalan ke arah perubahan dan pembaharuan dalam berbagai aspek kehidupan yang sebelumnya telah dirintis melalui jaringan ulama dan tasawuf.
Golongan yang tercerahkan ini kemudian membentuk sebuah perkumpulan yang diberi nama Roesidijah (Club) Riouw P. Penjengat (demikianlah cara penulisan nama perkumpulan itu dalam huruf latin atau rumi sebagaimana dicantumkan pada amplop surat-surat resmi perkumpulan ini)
Timothy P. Barnard (1994) dan Abu Hassan (1979) berpendapat, nama perkumpulan ini berasal dari penggabungan dua perkataan dalam dua bahasa. “Roesidijah“ dari kosakata bahasa Arab yang berarti “cendekiawan “ dan “ Club” dari bahasa Belanda yang maknanya “perkumpulan“. Penggunaan kosakata bahasa Arab untuk nama perkumpulan ini erat kaitannya dengan agama Islam dan kebudayaannya bagitu kuat dalam kehidupan di Riau-Lingga pada masa itu. Bahasa Arab menjadi bahasa kedua pentingnya selepas bahasa Melayu karena anggota Club ini kebanyakannya adalah dari cendekiawan. Mereka adalah orang-orang yang fasih dalam bahasa itu, dan sebegaian besar dari mereka adalah penulis dan pengarang (saya mengatakan sebagian besar, adalah tak semua anggota anggota perkumpulan itu menghasilkan karya tulis atau wajib menulis seperti yang selama ini diyakini).
Menurut Abu Hassan Sham (1979), penggunaan bahasa Belanda yang diwakili oleh perkataan Club dalam nama perkumpulan ini mencerminkan bahwa anggota perkumpulan ini berhaluan maju dan terbuka. Apalagi Pulau Penyengat, tempan perkumpulan ini bermastautin, letaknya berhampiran sekali dengan Tanjung Pinang, pusat pemerintahan kolonial Belanda di Riouw. Penggunaan kosakata Bahasa Belanda ini juga menunjukan bahwa perkumpulan ini sudah progresif dan tidak konservatif. Anggotanya terdiri dari golongan muda yang berpandangan ke depan.
Agak sukar untuk menyebutkan dengan pasti tahun Roesidijah (Club) Riouw P. Penjengat ditubuhkan. Tetapi dengan melihat komposisi anggotanya, diperkirakan ia ditubuhkan menjelang akhir abad ke-19, atau sekitar tahun 1890-an.
Roesidijah (Club) sudah sepatutnya dicatat sebagai sebuah organisasi modern yang tertua di Indonesia. Mengapa? Jika dilihat dari susunan pengurusnya, perkumpulan ini sudah terstruktur sebagaimana layaknya sebuah organisasi atau sebuah perkumpulan modern. Ketua umumnya adalah seorang yang disebut Presiden Roesidijah (Club) yang juga berpangkat Tengku Besar dalam struktur pemerintahan kerajaan Riau-Lingga (meskipun demikian, lembaga yang dipimpinnya berada di luar struktur pemerintahan kerajaan). Di bawahnya terdapat timbalan (wakil ketua), wakil timbalan, sekretaris, dan anggota-anggota. Bahkan perkumpulan ini juga mempunyai perwakilan di kota Makkah al-Musyarafah.
***
Memasuki awal abad ke-20, tokoh-tokoh utama Roesidijah (Club) juga menjadi tokoh penggerak dalam perlawanan terhadap dominasi kolonial di Kerajaan Riau-Lingga. Namun uniknya, perlawaan mereka samar-samar namun terasa denyutnya oleh pemerintah kolonial. Mereka bergerak secara halus, secara pasif, tanpa sekalipun melakukan komunikasi resmi dengan wakil pemerintah Hindia Belanda di Riouw menggunakan nama Roesidijah (Club) Namun demikian, satu hal yang pasti semua keputusan Sultan Kerajaan Riau-Lingga dalam hubungannya dengan wakil pemerimtah Hindia Belanda ketika itu adalah cerminan dari misi dan visi mereka.
Wakil pemerintah pemerintah Hindia Belanda di Tanjungpinang menyebut anggota-anggota Roesidijah (Club) ini sebagai verzetpartij (kelompok perlawanan) atau “kelompok oposisi Bugis” dengan tokoh utamanya adalah: Raja Ali Tengku Kelana atau Raja Ali Kelana, Raja Hitam atau Raja Khalid Hitam, Raja Abdul Rahman Kecik, serta Tengku Besar, Tengku Umar, calon Sultan Riau-Lingga. Semuanya adalah tokoh penting Roesidijah (Club) yang besar pengaruhnya menjelang berakhirnya kerajaan Riau-Lingga pada tahun 1913.
Demikianlah, dari sebuah perkumpulan cendekiawan, Roesidijah (Club) akhirnya berubah menjadi sebuah perkumpulan “politik” yang menentang kolonialisme, yang tampil dengan corak gerakan nasionalisme lokal awal dalam bentuk perlawanan melalui organisasi.
Tampaknya, sejak awal abad ke-20, anggota-anggota Roesidijah (Club) telah mulai mengawasi secara kristis langkah-langkah politik yang dibuat oleh Resident Riouw, dan membuat berbagai siasah yang memang diarahkan untuk memperlihatkan kedaulatan Kerajaan Riau-Lingga yang pada akhirnya memunculkan kemarahan Resident, wakil pemeritah Hindia Belanda di Tanjungpinang.

Sebelum ditandatanganinya Kontrak Politik tahun 1905, umpamanya, kelompok ini mengadakan meeting atau rapat membahas rencana Belanda itu di Rumah Raja Ali Kelana di Bukit Bahjah Pulau Penyengat pada tanggal 10 Fenbruari 1904. Begitu juga ketika pemerintah Belanda berencana membuat aturan agar “wakil kerajaan memberi hormat dengan sehabis-habis hormat” kepada ambtenar (pejabat-pejabat Belanda) yang datang mengunjungi wilayah kerajaan Lingga-Riau. Benih-benih perlawanan ini semakin muncul ke permukaan ketika ketika fasal tiga ayat satu dalam kontrak politik tanggal 18 Mei 1905 itu menegaskan bahwa kerajaan Riau-Lingga adalah sebagai suatua achazah (pinjaman) dari pemerintah Hindia Belanda.
Bahkan sesungguhnya, jika dilihat jauh ke belakang, jauh sebelum Kontrak Politik itu ditandatangani, mereka adalah orang-orang yang berada di balik layar peristiwa bendera tahun 1902: sebuah pembangkangan terhadap hegemoni pemerintah Hindia Belanda dengan cara tidak menaikkan bendera Belanda di kapal kerajaan. Peristiwa ini dilaporkan oleh residen A.L. van Hasselt kepada Gubernur Jenderal di Batavia dengan menjelaskan bahwa Sultan Abdul Rahman adalah seorang pembangkang yang dikelilingi oleh anggota-anggota kelompok pelawanan yang berhaluan keras.
Setelah itu, sebuah peristiwa bendera lainnya terjadi kembali pada tanggal 1 Januari 1903 ketika Resident Riouw mengunjungi Sultan di Pulau Penyengat, dan menyaksikan bendera putih bertengkuk hitam milik Kerejaan Riau-Lingga berkibar merdeka tanpa didamping bendera mereha putih biru simbol kebesaran Kerajaan Belanda. Peristiwa ini mendapat teguran keras dari Resident Riouw. Dalam surat rahasianya kepada Gubernur Jenderal Roseboom di Batavia, Resident Riouw mengatakan: “Ia [Sultan Abdul Rahman] bertindak sebagai seorang raja yang merdeka dan menaikkan bendera sendiri.”
Dua peristiwa bendera adalah salah satu alasan yang memicu Belanda membuat kontrak politik baru pada tanggal 18 Mei 1905, yang di dalam fasal tiga belas ayat lima, enam, tujuh, dan delapan kontrak politik itu disebutkan aturan pemasangan bendera Belanda dan bendera Kerajaan Riau-Lingga. Ayat ketujuh kontrak politik tahun 1905 itu, umpamanya, mengatur bahwa tempat bendera Belanda harus lebih tinggi dari bendera Kerajaan Riau-Lingga sebagai berikut:
“Adapun Sri Paduka Tuan Sultan Tetap memakai putih selaku tandanya sendiri di darat dan dilaut tetapi selamanya bersama bendera Holanda, dan tiada boleh lebih besar. Maka jikakalau memakai di darat tiang satu sahadja dikibarkan dibawah bendera belanda dan djikalau didarat tiang dua hendaklah tiang tempat bendera Holanda dibuat lebih tinggi dan dilaut djikalau tiada boleh dikibarkan dibawah bendera Holanda, hendaklah bendera Holanda, dinaikkan ditempat kehormatan di kapal itu.”
Arti penting anggoata-anggota Roesidijah (Club) Riouw P. Penjengat ini dalam perlawanan Kerajaan Riau-Lingga terhadap pemerintah Hindia Belanda juga dinyatakan dalam surat pemakzulan (abdicatie) Sultan Abdulrahman Mu’azamsyah dan Tengku Besar Kerajaan Riau-Lingga pada bulan Februari 1911. Bahkan, ketika pemakzulan itu terjadi, surat itu pemakzulan itu dibacakan oleh wakil pemerintah Hindia Belanda di gedung Roesidijah (Club) Riouw, sarang verzetpartij itu di Pulau Penyengat.
Dalam surat itu, pemerintah Resident Riouw sebagai wakil pemeritah Hindia Belanda menyindir Raja Ali Kelana, Tengku Besar dan anggota Roesidijah (Club) lainnya “sebagai orang berniat bermusuhan dengan Sri Padoeka Gouvernement Hindia Nederland ”.***
Aswandi Syahri, lahir di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pada 29 Januari 1970. Alumni ilmu sejarah pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (kini, Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas. Pernah menjadi jurnalis, dan kini masih menjabat sebagai sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Kepulauan Riau. Menulis sejarah sejak di bangku SMA, dan telah menghasilkan sejumlah buku tentang sejarah dan kebudayaan Melayu di Kepulauan Riau. Kini bermukim di Pulau Penyengat