ASWANDI SYAHRI
Penubuhan Sekolah-sekolah Agama di Pulau Penyengat (1938-1939)
SETELAH menjadi pusat pemerintahan Yamtuan Muda Riau sejak akhir dekade pertama abad ke-19, Pulau Penyengat dikenal dan berkembang pula sebagai salah tempat penting dalam pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam.
Masa-masa gemilang aktivitas talabul al-ilmu (mempelajari hal-ihwal agama Islam) sepanjang abad ke-19 di pulau itu, digambarkan dengan baik oleh Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis. Gambaran suasana Pulau Penyengat pada abad kw-19 itu telah disimpulkan oleh Virginia Matheson, dalam sebuah tulisannya yang dimuat dalam berkala Archipel edisi 37, tahun 1989, sebagai Nineteenth Century Islamic Centre, Pusat Keislaman Pada Abad Kesembilan Belas”.
Predikat Pulau Penyengat sebagai “Islamic Centre” sejak abad ke-19 sempat pudar, terutama beberapa tahun setelah kerajaan Riau-Lingga berakhir pada 1913. Namun demikian, kegemilangan yang pernah terserlah itu pernah diusahakan untuk dimunculkan kembali dengan semaraknya pada dua puluh enam tahun kemudian.
Antara tahun 1938 dan 1939, sejumlah orang tercerahkan di Pulau Penyengat yang ketika itu statusnya hanya sebuah kampung dalam administrasi pemerintahan Hindia Belanda, bergiat membuka sejumlah tempat pelajaran Islam dan sekolah agama di bekas pusat pemerintahan terakhir kerajaan Riau-Lingga tersebut. Bahkan, salah satu diantara tempat pelajaran Islam yang ditubuhkanitu, tarafnya adalah sekolah tinggi Islam (yang ketika itu disebut juga sebagaiKoleg Islam).
Usaha untuk mengembalikan Pulau Penyengat sebagai pulautalabul ilmu pada akhir dekade ketiga abad yang lalu itu dimulai dengan dibukanya sebuah lembaga bernama Jami’iyah al-Khairiyah; sebuah tempat pelajaran agama, yang pembukaannya diresmikan pada tarikh 15 Sya’ban 1357 Hijriah bersamaan dengan tarikh 9 Oktober 1938 Miladiah. Lembaga pendidikan ini ditubuhkan dan dipimpin oleh empat orang yang tercerahkan, yakni: Raja Ali bin Muhammad, Raja Khalid bin Muhammad, Haji Abbas bin ‘Abdulhamid, dan Abdullah Badarudin Riau.
Jejak para pendiri Jami’iyah al-Khairiyah ini kemudian diikuti pula oleh kalangan perempuan Pulau Penyengat dengan mendirikan sebuah lembaga khusus yang menjadi tempat mereka mempelajari ilmu-ilmu agama. Dibawah pimpinan Tengku Mahdiah binti Sulaiman Riau, kaum perempuan di Pulau Penyengat mendirikan pula sebuah lembaga yang diberi nama Majlis Ibu:sebuah perkumpulan kaum perempuan untuk mempelajari agama Islam, yang telah diresmikan penubuhannya pada 4 Syawal 1357 Hijriah bersamaan 26 November 1938 Miladiah.
Langkah para pendiri Jami’iyah al-Khairiyah dan kaum perempuan Pulau Penyengat yang berkiprah melalui Majlis Ibu, direspon pula oleh Kepala Kampung Pulau Penyengat yang ketika dijabat oleh Raja Ahmad Daud. Dengan dibantu oleh Raja Muhammad Yusuf bin Ahmad Riau, Raja Ahmad Daud mendirikan pula sebuah lembaga tempat belajar ilmu-ilmu agam Islam yang diberi nama Pakatan Balajar pada 9 Syawal 1357 Hijriah bersamaan tarikh 1 Desember 1938 Miladiah.
Puncak dari semarak kebangkitan tradisi pendidikan dan pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam di Pulau Penyengat antara tahun 1938-1939 itu sesungguhnya terjadi dua hari setelah Jami’iyah al-Khairiyah dibuka pada 9 Oktober 1938.
Peristiwa itu ditandai dengan dibukanya sebuah lembaga pendidikan tinggi, sebuah sekolah setaraf koleg Islam yang diberi nama Madrasah ai-Mu’allimin al ‘Arabiah. Pembukaannya ditandai dengan sebuah istiadat (upacara peresmian) di Pulau Penyengat pada tarikh 9 Syawal 1357 Hijriah, bersamaan dengan tarikh 11 Oktober 1938. Madrasah al-Mu’allimin (Sekolah Guru) ini didirikan dan dipimpin oleh Raja Muhammad Yunus Ahmad Riau.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan formal setingkat sekolah tinggi agama Islam, Madrasah al-Mu’allimin bertujuan mendidik anak watan putra-putra bumi Riau-Lingga menjadi calon-calon guru dan melayakkan (membekali) mereka agar dapat menjadi guru agama, kadhi, pengarang, dan mubaligh yang mahir.
Penubuhan Madrasah al-Mu’allimin di Pulau Penyengat ini tak lepas dari latar semangat zamannya. Di satu pihak, umat Islam di Hindia Belanda ‘terbelah’. Konflik antara ulama cerdik cendekia ‘kaum muda’ yang menyebut dirinya ‘kaum pembaru’ sempena menentang kaidah-kaidah dan pendidikan Islam dan cara beragama ‘kaum tua’, telah mengoyang-goyang kaidah ahlussunah-wal-jawaah yang selama ini dipegang; sehinggalah segala sesuatunya menjurus kepada perpecahan umat.
Di pihak lain, kristenisasi mulai marak pula di bekas kerajaan Riau-Lingga. Selain itu, ajaran-ajaran agama yang sesat dan pelik yang direka oleh “penjajah agama” yang datang dari luar marak pula di sejumlah pulau yang dihuni oleh orang Melayu yang lemah dalam mendirikan syari’at Islam.
Latar zaman yang memicu azam untuk menubuhkan Madrasah al-Mu’allimin di Pulau Penyengat ini di-istihar-kan (diumumkan) oleh mudir (kepala, pimpinan) sekolah itu dalam jurnal Pelajaran Islam (bilangan 1, keluaran bulan Syafar 1358 bersamaan dengan Febriari 1939) sebagai berikut:
“Adalah didalam zaman yang akhir ini pendidik2 kristiyan telah sungguh2 menyebarkan agamanya di negeri kita ini. Kerap kali mereka menjajah dipulau2 yang diduduki oleh orang Melayu yang lemah mendirikan syi’ar Islam, diantaranya sedikit hari dahulu di pulau Sudong hampir2 sekalian telah mengikut agamanya.
Dan telah zahir pula sekarang bermacam2 agama dan ‘itikat sa-zai (pelik) yang keluar daripada lingkungan ahli al-sunnah wal-jamaah dan mengaku pula mereka itu Islam yang sebenar2nya, dan bergelar dengan gelaran kaum muda dan sebagainya.
Bahkan bukan ini sahaja musuh agama yang kita hadapi, karena ada diantaranya pula pelajaran yang karut dan sesat direka oleh penjajah2 agama yang datang dari luar. Mengajar mereka itu ilmu rahasia yang tiadak disyariatkan oleh penghulu kita nabi Muhammad Sallahu’alaihiwassallam”.
Diiringi maksud menghalangi rempuhan iktikat atau mazhab yang mengandung racun dan agama asing itu, maka bermufakatlah putra bumi Pulau Penyengat mendirikan sebuah sekolah tinggi (Koleg Islam) yang diberi nama Madrasah al-Mu’allimin, dan menyerukan seluruh penduduk di bekas kerajaan Riau-Lingga menyerahkan anak-anaknya belajar di sekolah tersebut.
Madrasah al-Mu’allimin adalah sebuah lembaga pendidikan islam yang modern dalam sistim pembelajarannya. Dalam sebuah iklan tentang sekolah ini, dinyatakan bahwa peraturan belajar dan perkakasnya secara tamadun (mengikuti kaidah sekolah modern).
Proses belajar mengajar di Madrasah Mu’allimin al ‘Arabiah Pulau Penyengat diselenggarakan di rumah wakaf Masjid Jamik Pulau Penyengat yang dikenal dengan nama Rumah Sotoh. Lama proses belajar mengajarnya adalah 3 tahun, dan dibagi dalam darjah I, II, dan III. Selepas itu, ditambah setahun pelajaran bagi mereka yang ingin mendapatkan ijazah sebagai guru dan khadi, serta enam bulan untuk mendapatkan ijazah sebagai mubaligh.
Selain mempelajari lafas bahasa Arab, ilmu Sharof dan Nahu (tata bahasa Arab), ilmu al-Qur’an dan tafsirnya, ilmu Hadis al Syarif, ilmu Tauhid, Usuluddin, dan Fikih serta Tarikh (Sejarah) Islam, para pelajar di Madrasah al-Mu’allimin Pulau Penyengat juga dibekali mata pelajaran lainnya seperti, TharikhDunia(Sejarah Dunia), Ilmu Bumi (Geografi), Hisab (Astronomi), seni menulis Khat, Bahasa Melayu Riau, dan tidak ketinggalan pula pelajaran TarikhRiau Lingga(Sejarah Riau Lingga).
Tak ada catatan sampai kapan Madrasah Mu’allimin al ‘Arabiah bertahan. Namun yang pasti, langkah gemilangnya kemudian diikuti dengan berdirinya sebuah lembaga baru dengan memanfaatkan lulusan sekolah itu. Sebuah Sekolah Agama, yang bertujuan mengajarkan perkara-perkara agama dengan bahasa pengantar menggunakan bahsa Melayu dan Arab yang diperuntukan bagi kanak-kanak putra-pura watan Melayu Riau di bekas Kerajaan Riau Lingga. Sekolah ini ditubuhkan di Pulau Penyengat pada tahun 1939. Sekolah Agama dengan pejalaran-pelajaran berasaskan mazhab ahlussunah waljama’ah ini mulai menerima murid pada 1 Mei 1939.
Satu hal yang menarik dalam konteks kebangkitan dunia pendidikan dan kesadaran cinta terhadap tanah air dan tanah tumpah darah atau watan di Kepulauan Riau-Lingga pada awal abad yang lalu, seluruh sekolah agama dan tempat pelajaran Islam di Pulau Penyengat ini berafiliasi dengan Riouw Studie Fonds: sebuah persekutuan (kelab) kebangsaan anak-anak watan Riau-Lingga yang ditubuhkan di Tanjungpinang, dan berazam untuk menyokong dan memajukan pelajaran (pendidikan) putra-putri anak watandi bekas Kerajaan Riau-Lingga.
Oleh karena itulah, dan bertolak dari semangat hubbul watan minal iman (cinta tanah air sebagaian dari iman), mudir Sekolah Agama yang baru ditubhkan di Pulau Penyengat ketika itu menyeru agar semua putra-putri watan Riau-Lingga untuk masuk menjadi anggota Riouw Studie Fonds dan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah agama yang ada di Pulau Penyengat: dengan maksud “…supaya kembali kemasyhuran kepada tanah air kita (Riau-Lingga)…” dan “supaya tidak (ada) jawatan2 memimpin dalam agama jatuh ditangan orang luar…karena jjMercu kemasyhuran tanah air itu ialah dengan ilmu dan persatuan bangsanya”.***
Aswandi Syahri, lahir di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pada 29 Januari 1970. Alumni ilmu sejarah pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (kini, Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas. Pernah menjadi jurnalis, dan kini masih menjabat sebagai sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Kepulauan Riau. Menulis sejarah sejak di bangku SMA, dan telah menghasilkan sejumlah buku tentang sejarah dan kebudayaan Melayu di Kepulauan Riau. Kini bermukim di Pulau Penyengat