Aswandi Syahri
Pada 1896 hingga beberapa tahun kemudian, Henri Jean Francois Borel sebenarnya pernah menjabat sebagai pegawai urusan orang-orang Cina (ambtenaar voor Chineesche) di Tanjungpinang. Namun, pada sebuah kunjungan kembali ke Tanjungpinang tahun 1904 ia dapat berkenalan dengan Sultan Lingga, Sultan Abdulrahman Muazamsyah, yang ketika itu telah bersemayam di Istana Keraton yang dibanguan oleh ayahanda (Yamtuan Muda Riau, Raja Muhammad Yusuf) di Pulau penyengat.
Untuk pertama kalinya ia berkenalan dengan tuan Sultan dalam sebuah resepsi yang diadakan oleh Resident Riouw di rumah Keresidenan van Riouw (Gedung Daerah) di Tanjungpinag.
Sebagai seorang Eropa pengagum keindahan dan kemegahan negeri-negeri Timur, kesempatan itu tak disia-siakannya: ia sangat antusias dan ingin melihat istana tuan Sultan Lingga di Pulau Penyengat.
Borel akhirnya diundang secara resmi oleh Sultan Abdulrahman Muazamsyah untuk berkunjung ke istananya, dan menyaksikan pementasan teater bangsawan milik Tuan Sultan di Pulau penyengat.
Menjelang malam, tepat sehari setelah resepsi di rumah Residetn Riouw ia bertolak dari dermaga Tanjungpinang ke Pulau Penyengat menggunakan perahu khusus yang dikirim oleh Sultan Abdulrahman Muazamsyah. Ketika tiba di pintu gerbang istana, ia disambut oleh sultan dan pembesar kerajaan.
Apa saja yang ia saksikan di dalam ruang-ruang istana Sultan Lingga di Pulau Penyengat? Bagaimana kesan si Belanda itu? Dan bagaimana reaksi Borel ketika Tuan Sultan memamerkan kemegahan isi istananya kepada sahabat Eropanya diiringi dengan senyuman yang penuh misteri?
Henri Borel menuliskan kesan dan kesaksian tentang istana Sultan Lingga di Pulau Penyengat dan selera sang Sultan dalam sebuah tulisan berjudul “Een Bezoek Bij den Sultan van Lingga” (“Sebuah Kunjungan Kepada Sultan Lingga”) yang diterbitkan untuk pertama kali dalam sebuah kumpulan tulisan berjudul Wijsheid en Schoonheid uit Indie pada tahun 1905. Tulisan Henri Borel adalah laporan pertama yang ditulis orang Eropa tentang ‘rahasia’ di dalam istana Sultan Lingga di Pulau Penyengat.
Meskipun ditulis dengan gaya Belanda yang “angkuh” dan “sombong”, namun banyak hal menarik untuk disimak. Berikut ini adalah petikan beberapa bagian yang saya terjemahkan dari tulisan Henri Jean Francois Borel tersebut.
***
Pada sebuah resepsi yang diadakan oleh Resident Riouw di Tanjungpinang, saya melihatnya untuk pertama kali.
Seorang laki-laki bertubuh kurus, tinggi lampai, berusia sekitar empat puluh tahun, dengan gaya pseudo-westersch, mengenakan tuxedo (sejenis jas pakaian resmi pria), dengan sepatu yang disemir mengkilap.
Ada penyemat bunga terbuat dari perak menghiasi jasnya, berkilauan bertatahkan berlian yang besar. Bunga anggrek putih yang khusus baginya tersemat disitu. Mengenakan sebuah tutup kepala rendah berwarna hitam seperti yang digunakan perwira artileri Belanda, dimana tersemat sebuah bintang bertatahkan berilian yang berkilauan, dengan batu permata besar yang mahal di tengahnya.
Selain dua perhiasan tersebut, ia mengenakan sebuah kostum gaya Eropa yang tebuat dari laken hitam, yang tidak mengesankan sebagai seorang raja dari negeri Timur. Dan tanpa dua perhiasan itu, bisa saja ia dianggap sebagai seorang indo yang kaya.
“Sultan Lingga!” kata seorang Controleur kepada saya. “Bermastautin di Pulau Penyengat , sebuah pulau disini, di seberang Tanjungpinang”.
Saya memperkenalkan diri kepada Sultan, dan tak lama kemudian larut dalam percakapan dengan Yang Mulia. Dalam kegembiaraan, akhirnya saya kembali berbicara dengan seorang raja dari Timur, dengan harapan yang benar-benar indah, untuk melihat hal-hal yang berkenaan dengan Negeri Timur, menceritakan kekaguman saya terhadap gamelan, wayang, dan tarian ronggeng.
Wajah cokelatnya tersenyum sedikit timpang, meskipun ia tidak terlalu percaya bahwa seorang orang Barat bisa menemukan keindahan dari kemegahan dunia Timur. Ia tak punya gamelan, katanya. Dan juga tak punya wayang. Anda harus ke Jawa untuk melihatnya, dan ia adalah seorang Melayu asli (volbloed Maleier). Namun jika saya ingin melihat istananya, teater bangsawannya, dan sendratarinya, maka saya akan disambutnya, kapanpun saya datang berkunjung.
Pada pukul 7.30, saat malam menjelang, saya telah berada di dermaga Tanjungpinang, tempat dimana sebuah perahu layar besar milik Sultan Lingga menanti saya. Dan kemudian menyeberang ke Pulau Penyengat, dalam laut yang tenang dan datar, dengan perbukitan dan nyala api di kebun-kebun gambir dikejauhan, adalah pengantar kemegahan sebuah kisah dongeng dari Timur. Segala sesuatu di laut diam dan khusuk! Di bagian belakang perahu seorang matroos (kelasi kapal) memainkan suling, menerawang, dalam nada minor.
Ketika saya tiba di dermaga Pulau Penyengat saya berfikir: “sekarang saatnya tiba.”
Hanya dengan berjalan kaki, kami telah berdiri di depan pintu gerbang istana. Saya membungkuk sebagai penghormatan terhadap Sultan Lingga, pembesar kerajaan, yang menanti dengan penuh kebesarannya.
Suatu yang mengecewakan!
Saya berdiri di sebuah ruangan yang besar, luas, sejenis galerij, terbuka pada tiga sisinya, tempat dimana terdapat semua selera kemewahan Eropa modern yang buruk (Europeechen wansmaak) , tanpa kadar seni.
Semua perabotan yang tanpa gaya ini disediakan oleh “bagian-furnitur” perusahaan John Little & Robinson di Singapura tanpa dipikirkan dahulu, tanpa suatu gaya apapun. Kursi-kursi fantasi-modern, dengan beledu dan kain seperti beledu, berkain pintu, bertaplak meja, ada replika patung orang Moor yang mengerikan pada tiang berkaki, ada teraa-coota, vas yang sangat jelak, papan dinding yang penuh dengan gambar malaikat dan peri, foto berbingkai mewah, tanduk-tanduk dengan hiasan bunga. Mengerikan (affreus), sebuah mimpi buruk bagi seorang seniman. Begitulah kesan pertama saya tentang “istana” itu.
Sultan, yang sekarang meladeni saya di rumahnya sendiri, menanti dengan pakaian orang Timur (Melayu) yang indah, mengenakan jaket kotak-kotak buatan inggris dan sepatu kuning, berkerah tinggi dan dasi merah, tali pinggang empat pin, namun sama sekali tidak tampak gaya orang Timurnya.
Para pelayan pribumi ada dimana-mana, semuanya mengenakan pakaian cara Eropa, bercelana pendek, bersepatu rendah, dan kaus kaki hitam sebetis, dalam balutan seragam dengan jalinan benang emas.
Dan kini bermula sesuatu yang menyakitkan, yang tak mungkin saya lupakan. Sultan tampaknya bangga dengan dekorasi gaya Eropa di istananya. Saya harus melihat sebagian besar koleksi dalam istananya.
Dan sekarang kami berpindah dari satu ruangan besar ke ruangan besar lainnya, yang berfungsi layaknya gudang Hoynck of Fortmann, bahkan lebih buruk, karena disini ada sejumlah mebel gaya Empire dan Louis Quinze, dan bahkan ada yang bergaya abad pertengahan.
Di dindingnya ada lukisan dan piring raksasa (monsterachtige). Rak-raknya penuh dengan pernak pernik yang buruk. Ada patung-patung anjing, kucing, dan peri dari batu. Karena menjaga kesopanan diantara kami, saya harus mengatakan: “Bagoes! Bagoes sekali!.
Saya merasa terpicu, dan Sultan selalu menjawab dengan senyum, yang sampai sekarang tetap menjadi misteri bagi saya. Apakah makna segala kebangganan dan keindahan yang dimilikinya? Apakah suatu yang biasa saja atau ada rasa penghinaan terhadap pemerintahan orang Barat? Semua orang Timur punya senyum seperti itu, dan untuk orang Eropa yang belum mengerti, semua itu tetap menjadi misteri yang tak terungkap.
Pada sebuah balairung (receptive-zaal) dipasangkan dua buah potret besar yang pada bingkainya tertulis Ratu Belanda dan Pangeran Hendrik, yang ditulis oleh tangan Sultan sendiri. Dan sekali lagi Sultan menunjukkan senyum yang aneh.
Selanjutnya seorang nyonya “kehormatan” di istana itu menjelaskan sebuah sejarah. Sultan mempunyai hadiah-hadiah pernikahan yang indah yang dikrimkan untuknya oleh Yang Mulia Ratu Belanda, berupa sebuah rangkaian bunga ros hutan (rozenstruikje) yang tangkainya dari emas, daunnya dari perak, penuh dengan taburan permata berlian, sebuah hadiah diraja yang harganya beribu-ribu.***
Sumber : Jantungmelayu.com
Deskripsi Foto : Pemandangan ruang tamu (kamar tamoe) yang dilengkapi dengan perabotan, patung, dan vas bunga di istana Sultan Lungga, Sultan Abdulrahman Muazamsyah di Pulau Penyengat. Dimuat dalam majalah Bendera Wolanda tahun 1911 (foto: dokumentasi aswandi syahri)
Aswandi Syahri, lahir di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pada 29 Januari 1970. Alumni ilmu sejarah pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (kini, Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas. Pernah menjadi jurnalis, dan kini masih menjabat sebagai sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Kepulauan Riau. Menulis sejarah sejak di bangku SMA, dan telah menghasilkan sejumlah buku tentang sejarah dan kebudayaan Melayu di Kepulauan Riau. Kini bermukim di Pulau Penyengat
This Post Has One Comment
Mantap dan thanks admin. Masukkan tulisan yg lain, masih banyak tulisan lain ttg penyengat di jantungmelayu.com itu.